Setelah sebulan lamanya absen, kemarin sore aku mulai berenang lagi. Tidak lama, hanya sekitar 60 menit. Berenangnya pun pelan. Usai renang, badanku rontok. Aku tertidur lama. Pulas. Terbangun, kepalaku pusing.

Apa yang kupikirkan selama berada di bawah air?

Pekerjaanku yang sunyi.

Karirku yang berserakan.

Ibuku yang bersedih karena aku tidak nikah-nikah.

Ayahku yang kecewa karena aku tidak percaya diri bahwa aku bisa jadi dosen.

Keponakanku yang barusan ulangtahun tapi belum kubelikan kado.

Kedua kakakku yang berjarak.

Bahasa tulisku yang makin parah.

Bahasa inggrisku yang makin absurd.

Kecepatan membacaku yang makin lambat.

Otakku yang makin sulit menerima ilmu yang sama sekali baru.

Kehati-hatianku yang menghambat kreativitasku.

Ketidaksabaranku.

Keribetan pikirku.

Ketakutanku pada kesendirian.

Berada di bawah air memberikan kesempatan untuk membenci diriku sendiri. Seringkali yang terjadi, aku lari dalam unggahan-unggahan hidup orang lain, tertidur tanpa memutuskan apa yang harus dibenahi. Aku merasa asing dengan diriku sendiri. Menghabiskan hari-hari sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan yang tak kumengerti. Menginginkan teman bicara namun dituntut untuk bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Ingin membuat orang lain bahagia tapi melihat wajah sendiri di cermin saja merasa terbebani.

Kutinggalkan energi negatifku di bawah air, berharap energi positif mengalir saat aku naik dari kolam. Tentu saja itu Cuma ada di buku-buku motivasi. Berenang tidak membuatku lantas pulih dan menjadi orang yang sangat positif, percaya diri dan siaga menghadapi hari. Berada di bawah air membuatku mengingat betapa bermasalahnya diri ini, betapa muaknya aku menghadapi semuanya sendiri, dan betapa aku sering lupa melibatkan Tuhanku sendiri.

Time is tickling.

I keep whining.

Can’t stop complaining.

While asking “what am I doing?”

It seems too vivid.

Living a life with adjusted grid.

There is an empty void.

Not realizing that I’m already bleed.

Leave a comment